Buton Tengah, sigap88news.com – Pembangunan menara telekomunikasi milik PT. Tower bersama (PT.TB) di Desa Lalibo, Kecamatan Mawasangka Tengah, Buton Tengah (Buteng) mendapat penolakan dari warga. pasalnya tanah yang digunakan untuk membangun menara merupakan tanah desa, bukan tanah milik pribadi yang seperti tertulis dalam perjanjian sewa pakai lahan.
Pembangunan Menara salah satu provider telekomunikasi yang sudah tahap penyelesaian itu berada di Dusun Butu, desa Lalibo, Kecamatan Mawasangka Tengah, yang juga diduga belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).
Selain itu, Warga juga resah lantaran pembangunan menara di anggap warga berada diatas tanah wakaf yang sekarang menjadi aset desa oleh kepala desa Lalibo Awaluddin, kini tanah itu di sewakan ke pihak PT. TB yang di duga untuk kepentingan pribadi.
Awal di ketahui kalau tanah sudah berganti status berawal saat beberapa masyarakat meminta kepada dinas perizinan Buteng, agar di beri copian yang di lapirkan desa saat pengajuan pembangunan tower.
Dari lampiran yang di terima oleh warga dalam surat pernyataan penguasaan fisik tanah di katakan bahwa Awaluddin sudah menguasai tanah tersebut sejak tahun 2001 secara terus menerus.
Selain itu, dalam surat pernyataan dengan mitra (PT.TBG) dan awaluddin selaku pemilik lahan termuat jumlah nominal sewa lahan selama perjanjian berlaku, dengan menyepakati sewa lahan sebasar Rp.132.000.000, dengan nilai DP 30% (Rp 39.600.000), nilai pembangunan uang pelunasan (FP 70%) sebesar Rp 92.400.000. Dalam kesepatan tersebut tertera nomor rekening Bri atas nama awaluddin.
Salah satu warga dusun Lafaradi, desa Lalibo, hairul saat di temui crew Sigap88News.com, menyampaikan bahwa Selama ini pemerintah desa tidak pernah terbuka persoalan pembangunan tower apalagi melakukan sosialisasi atau meminta persetujuan warga sekitar.
“Warga sebenarnya ingin tahu kenapa kepala desa mengambil kebijakan sepihak tanpa konfirmasi ke masyarakat adat.tanah ini dulu di wakafkan oleh bapak La sagala, bapak Singga Raginti dan bapak La Kambea untuk desa tepatnya pada tahun 2001 setelah desa defenitif yang di pimpin oleh kades La Patola. Tapi belakangan kemudian oleh kades Awaluddin membuat kesepakatan dengan pihak PT tanpa musyawarah” kata Hairul, Rabu, (13/02/2019).
Yang lebih miris lagi, lanjut Hairul bahwa pernah pak Awaluddin selaku kades menyampaikan pengumuman di masjid terkait besaran yang di terima oleh desa selama pemakaian tanah tersebut.
“pak kades sampaikan di masjid bahwa perjanjian sewa tanah itu selama 11 tahun dengan harga 99 juta. Untuk 30% kita akan berikan untuk pembangunan atau rehab masjid” tutur hairul saat menirukan Kades.
Menurut Hairul, apa yang di sampaikan oleh kades dan data yang di keluarkan dinas perizinan Buteng berbeda. Mulai dari nominal, status tanah hingga rekening yang di gunakan saat melakukan perjanjian. Hingga patut di duga ada permainan di desa untuk memuluskan proyek tersebut
Reporter : Harianto Ahmad
Editor : Uc