Penulis Kabiro :Siti rahayu
Editor. :Sutrisno Utomo.

Bojonegoro sigap88news.com– Pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur diwarnai aksi bagi-bagi uang oleh sejumlah oknum calon Kades yang tengah bertarung memperebutkan suara.
Melalui tim sukses masing-masing, uang dalam amplop itu diputarkan secara senyap ke setiap warga untuk menarik simpati.

Strategi ini sudah tak asing lagi dengan harapan warga yang telah masuk sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) itu sudi “mencoblosnya” saat pilkades berlangsung.
Pilkades di Kabupaten Bojonegoro akan digelar serentak pada Hari Rabo(19/2/2020).
Berdasarkan pantauan sigap88news.com, seminggu sebelum dilaksanakan pilkades praktik bagi-bagi uang sudah mulai digencarkan di sejumlah desa/ kecamatan.
Bahkan, saat dini hari, bagi-bagi uang juga masih terus berlanjut. Warga biasa menyebut praktik bagi-bagi uang saat dini hari ini dengan istilah “serangan fajar”.
Sejumlah Rp 300 ribu ,500 ribu hingga Rp1000.000.
Tak main-main jumlah nominal uang yang dibagikan oleh setiap oknum calon kades kepada warga, mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu -1000.000;per orang.
Fantastisnya lagi, ada warga yang mengaku jika setiap orang di desanya termasuk dirinya telah menerima amplop senilai Rp 1 juta dari seorang oknum calon kades.
Ahmad Kholil (40), warga Kecamatan Kapas mengaku, dalam semalam telah menerima dua kali amplop dari timses seorang oknum calon kades petahana .
Dalam kurun waktu itu, Ahmad juga menerima dua kali amplop dari timses calon kades lawan petahana. Tercatat, di desanya ada dua calon kades yang bertarung, yang mana seorang diantaranya incumbent.
Pertama kali, “sedekah politik” itu diterima oleh warga di desanya pada malam hari sekitar pukul 08.00 WIB. Dua calon kades masing-masing membagikan uang Rp 300 ribu per orang melalui timsesnya.
Selanjutnya, kata Ahmad, amplop kembali diterima oleh warga pada dini hari sekitar pukul 05.00 WIB.
Dalam serangan fajar ini, dua calon kades masing-masing membagikan uang Rp 200 ribu per orang melalui timsesnya.
Warga pun seakan dimanjakan dalam bursa pilkades lantaran timses calon kades melakukan jemput bola dengan mendatangi langsung setiap rumah warga yang menjadi sasarannya.
“Ini sudah biasa mas. Setiap pilkades ya begini. Kami berdiam diri di rumah dan menunggu ketukan pintu dari timses calon kades. Mereka masuk, kasih amplop dan mengarahkan untuk memilih salah satu calon kades. Setelah itu kami tanda tangan dan mereka pergi. Sebentar kok, lima menit saja. Jadi total dari seorang calon kades, kami terima Rp 500 ribu. Padahal ada dua calon kades, jadi kami dapat Rp 1 juta semalam,” ungkap Ahmad.
Sementara itu, praktik bagi-bagi uang dalam gelaran pilkades 2020 di Kabupaten Bojonegoro juga ditemui di wilayah kecamatan lain.
Diantaranya, di kawasan desa yang memiliki areal persawahan yang luas dengan irigasi yang baik.
“Semalam saya dan warga terima Rp 1 juta dari timses seorang calon kades. Dua kali yakni malam dan dini hari. Didatangi langsung. Kalau dari timses calon kades lainnya, kami dapat Rp 500 ribu semalam,” kata Priyanto (35), warga Kecamatan Kedungadem.
Menyayangkan
Bupati LSM Lira Bojonegoro Jatim Sunyoto, menyayangkan adanya praktik bagi-bagi uang dalam pilkades serentak di Kabupaten Bojonegoro.
Pilkades, kata dia, adalah sejarah model pemilihan secara langsung di Indonesia.
Sejatinya, pilkades adalah salah satu pendidikan politik untuk tingkat yang paling bawah dalam tatanan pemerintah. Sudah sepatutnya tidak dicemari dengan permainan kotor semacam “money politics“.
Sunyoto menyebut jika praktik “money politics” di tingkat bawah itu mengindikasikan lemahnya pendidikan politik di masyarakat khususnya para calon kades itu sendiri.
Terlebih lagi, ke depan apa bila nantinya digelar pesta demokrasi baik pilpres maupun pileg yang tentunya akkan berimbas kepada perilaku masyarakat dalam menilai setiap pilihan.
Ujung-ujungnya, hasil dari pilihan masyarakat bukan dilihat dari kapabilitas, kualitas dan akuntabilitas calon kades melainkan siapa yang punya duit, dia yang akan pegang kendali kepemimpinan.
“Kami sangat menyayangkan money politicsyang terjadi dalam pilkades serentak diBojonegoro yang disinyalir mencapai jutaan rupiah per kepala. Ini akan merusak tatanan demokrasi yang saat ini lagi gencar. Budaya baru yang muncul di masyarakat yakni tidak ada uang tidak dicoblos, ini mengindikasikan lemahnya pendidikan politik terhadap masyarakat dan para kandidat cakades,” kata Rifai.
Tergiur Jabatan
Menurut Rifai, fakta di lapangan yang ia temukan, rata-rata seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai kades rela mengeluarkan kocek hingga Rp 1 miliar untuk mengeruk suara terbanyak melalui praktik bagi-bagi uang.
JabatanKades dinilai menggiurkan untuk mengantongi penghasilan terutama bagi desa yang kaya akan hasil bumi, sebut saja areal persawahan yang luas dengan irigasi yang memadai.
“Maraknya jual beli suara dikarenakan para cakades juga tergiur akan banyaknya anggaran di pemdes yang dikucurkan pemerintah ke desa. Mulai dari DD, ADD, Bankeu Provinsi, Bankeu Kabupaten dan juga pades. Di sisi lain dasar jaminan kenyamanan penghasilan mulai dari siltap, tunjangan dan bengkok desa bagi kades?,” ungkapnya.